Kamis, 24 November 2011

NGOBROL BARENG MBAK MARFU’AH

NGOBROL BARENG MBAK MARFU’AH
TENTANG REFLEKSI PENGKADERAN PMII
OLEH: Atho' At - Tubany
Murah senyum, itulah kesan pertama jika kita melihat sosok Mbak Marfu’ah. Perempuan asli Perunggahan ini masih fasih ketika membincangkan problematika pengkaderan yang dihadapi PMII.
Sebagai mukadimah beliau mangusulkan agar semua kader yang terdiri dari pengurus Cabang dan Komisariat untuk mengeksplorasi problematika sistem kaderisasi yang selama ini berjalan. Tujuannya adalah untuk mengerucutkan tema apa yang akan menjadi topik pembicaraan dalam obrolan. Selain itu, eksplorasi ini juga dimaksudkan untuk meng-up date mindset beliau pasca sekian lama jarang kongkow bareng mengulas dunia pergerakan. Maklum, karena sebagian besar waktunya dipusatkan untuk mengurusi Lembaga Pendampingannya.
Mengawali perbincangan, sahabat Ali Musthofa yang juga Ketua Umum PMII periode 2011-2012 Tuban menjelaskan bahwa agenda penting pengurus cabang terkait dengan kaderisasi yaitu membedah hasil loka karya yang terumuskan pada masa sahabat Adji Dahlan (2007). Konklusi yang nanti tersepakati akan menjadi bahan loka karya pengkaderan PMII Tuban akhir bulan ini (Pebruari). Kader PMII asal Montong ini juga meminta saran kritik dari para alumni terutama Mbak Marfu’ah supaya ruh gerakan tetap tertanam dalam jiwa kader.
Paparan tersebut kemudian berkembang menjadi diskusi menarik. Mbak Marfu’ah, meskipun diundang sebagi nara sumber, menerapkan metode andragogi sehingga pertemuan itu tidak berlangsung monoton. Peserta bebas mengungkapkan keluh kesah, kegundahan, dan kendala-kendala dalam internal maupun eksternal organisasi.
Menyambung paparan Kang Manyo, panggilan akrab sahabat Ketua Umum, M. Adam menegaskan jika momen ini adalah salah satu dari rangkaian praloka karya. Kader dari Rembang yang dalam masa ini menjabat sebagai Kabid I bidang Internal Pengkaderan pengurus cabang PMII, megusulkan agar nara sumber mengupas aspek historisitas struktural cabang dari masa ke masa. Ini penting, masih menurutnya, karena dengan belajar sejarah, kita akan memahami lika-liku pergulatan gerakan dengan segala hiruk pikuknya sebagai referensi berharga guna menatap masa depan.
Persoalan klasik namun aktual dan selalu seksi dalam kaca mata kaderisasi masih berputar dalam bingkai yang sama. Dari waktu ke waktu, problem abadi organisasi adalah apatisme, hedonisme, dan pragmatisme kader. Mereka yang masuk PMII dewasa ini cenderung menginginkan hasil instan. Orientasi mereka kalau boleh menganut system ekonomi pasar yaitu keluar modal sedikit mungkin, untuk mencapai laba sebanyak-banyaknya. PMII dituntut untuk selalu memanjakan keinginan kader. Tipologi seperti ini mangakibatkan output pengkaderan melenceng dari garis ideal. Karena mengesampingkan proses dan mengutamakan hasil, maka PMII menghasilkan motif kader karbitan plus oposan. Loyalitas yang tertanam pun kurang begitu mengakar dalam jiwa.
Kita juga perlu merefleksikan system yang sejauh ini menjadi formula kaderisasi. Belum adanya standar baku, indicator yang spesifik, dan format yang selalu berubah menyebabkan kita sulit untuk mengukur tinkat keberhasilan pengkaderan. Lagi-lagi, kita sering terjebak pada bentuk pengkaderan structural dan formal.
Pengkaderan structural lebih mengandalkan posisi kepengurusan mulai tingkat PB sampai Rayon dan melahirkan metode top down bergaya instuksional. Pola seperti ini secara tidak sadar membungkam kreatifitas dan menimbulkan efek ketergantungan kader yang berada pada jajaran structural tingkat bawah. Konkritnya, pengurus rayon tak akan bergerak jika tidak mendapat instruksi komisariat. Komisariat selalu menunggu tuntunan cabang, cabang pun menanti fatwa pengurus PKC. Tugas pengkaderan tertumpu pada PB yang pada hakikatnya tidak bersinggungan langsung dengan kader jelata.
Kelemahan system kaderisasi structural yang lain ialah mendistorsi loyalitas dan tanggung jawab mantan pengurus. Bayangkan saja ketika sudah tak lagi menduduki kursi sruktur organisasi, bukan tidak mustahil dari mereka yang terberangus rasa tanggung jawabnya terhadap pendampingan kader.
Keterperangkapan kita pada model pengkaderan formal juga menjadi kendala. Pada kognisi kita, kesuksesan pengkaderan bisa terukur dari keberhasilan melaksanakan Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA), Pelatihan Kader Dasar (PKD), dan Pelatihan Kader Lanjut (PKL). Padahal, pengkaderan formal merupakan sub dari skema besar system kaderisasi di PMII. Sangat munafik saat kita mendewakan MAPABA yang hanya beberapa hari, PKD yang begitu singkat, dan PKL yang belum tentu ada tiap tahunnya, sebagai senjata untuk mencetak kader PMII bertitel ulul albab.
Salah satu tawaran yang bisa dirumusakan supaya pengkaderan PMII efektif ialah memaksimalkan model pengkaderan informal. Bagaimana keseharian kita di PMII, sapaan kita terhadap kader (meskipun sekedar basa-basi), dan hal-hal kecil yang menurut kita remeh, justeru itulah yang kadang membuat kader merasa diperhatikan. Dengan demikian, sense of belonging (rasa memiliki) terhadap PMII membumi dalam relung hati. PMII bukan semata organisasi eksternal kampus, tetapi lebih dari itu, PMII dianggap sebagai rumah kedua mereka.
Secara teori PB PMII telah merumuskan gambaran umum tentang kondisi dan situasi mahasiswa kontemporer, di antaranya
a.       Apatis.
Yaitu acuh tak acuh terhadap keadaan social dan politik.
b.      Pragmatis.
Ciri-cirinya adalah memperhitungkan keuntungan dan manfaat pribadi yang sifatnya sesaat. Selain itu, mereka memilih organisasi yang secara langsung mendukung perkuliahan dan menjamin masa depan.
  1. Hedonis.
Adalah mahasiswa yang gemar bersenang-senang.
  1. Agamis.
Mahasiswa yang mengutamakan religiusitas formal-simbolis.
  1. Idolisasi.
Mahasiswa yang mencari panutan dan tauladan berupa tokoh atau figure untuk ditiru baik dalam hal intelektualitas, religiusitas, akademik, dan aktivis sosial.
  1. Citra mahasiswa aktivis.
Biasanya image tipe ini adalah nilainya anjlok, lulus lambat. IPK rendah, masa depan monolitik (politik dan sosial).
  1. Idealis.
Suka menggebu-gebu dalam menyikapi keadaan sekeliling (social, ekonomi, politik, agama) dan berpandangan biner (benar-salah).
Termasuk dalam tipologi mahasiswa yang seperti apa diri kita? Raba relung hati sejenak dan refleksikan bersama!
Jika mau ditambahkan, factor penghambat kaderisasi PMII disamping hal di atas adalah :
1.      Pendampingan kader
2.      Format pengkaderan belum jelas aplikasinya.
3.      Indikator keberhasilan pengkaderan belum terstandarisasi.
4.      Terjebak pada pengkaderan struktural
5.      Terjebak pada pengkaderan formal dan non formal
6.      Loyalitas kader berkurang.
Setelah ngalor-ngidul berwacana ria, akhirnya Mbak Maefu’ah mendapat giliran. Menurutnya, strategi pengkaderan MLM (Multi Level Marketing) sebenarnya sudah lama didengungkan sejak beliau menjadi pengurus cabang. Formula MLM dianggap paling efektif namun kendalanya adalah kapasitas dan kompetensi para pendamping. Problemnya ada di metodologi pendekatan. Kadang kita tidak mengetahui kultur dan latar belakang kader.
Langkah awal yang harus segera dilakukan adalah membentuk para pendamping terkait dengan skill maupun kompetensi intelektualnya. Penuhi otak mereka dengan formulasi pengkaderan yang tepat sesuai konteks kader. Sekarang mayoritas dari kita sedang mengalami defisit keikhlasan. Sense of belonging (rasa memiliki) terhadap PMII perlu ditanamkan. Caranya? Internalisasi NDP dan memahamkan tujuan PMII kepada kader. Apakah jiwa kita sudah menubuh dengan NDP dan citra diri PMII?
Problem materi dalam PMII bukanlah kendala utama jika kita tetap ingat terhadap tujuan PMII. Ketika kita berjalan, tanpa ada tujuan yang jelas ibarat orang mabuk. Ketika ini sudah tertanam dalam jiwa, kita akan meninggalkan organisasi pun akan merasa berdosa. Jadikanlah PMII untuk mencapai tujuan kita.
Sebelum melakukan gerakan praktis kita harus memenuhi otak kita dengan berbagai wacana yang dibutuhkan. Kita sah saja berpikir sesuatu yang besar, tetapi juga harus berani melakukan hal yang kecil. Kita masih lemah dalam model kepemimpinan. Supaya tidak bosan, kita harus kreatif dalam mengemas bungkus kegiatan sehari-hari organisasi. Contoh nyata dengan cara membuat angket tentang kesukaan dan ketidaksukaan kader pada awal masa kepengurusan. Kalau memang problem dana menjadi sangat krusial, maka perlu adanya konsep jelas tentang pencarian materi.
Cabang harus segera melakukan up grading calon-calon pengkader masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar