Kamis, 24 November 2011


PARADIGMA VERSI PENGKADERAN
PMII
Oleh : Atho’ At - tubany
Paradigma merupakan sesuatu yang vital bagi pergerakan organisasi. Karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan prilaku social. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan menentukan dan memilih nilai-nilai yang universal, abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seseorang.
Proses pengkaderan baik formal maupun non formal memiliki kontribusi penting dalam melegitimasi dan melanggengkan system dan struktur social yang ada. Namun, pengkaderan juga merupakan medan perjuangan dan bagian dari proses untuk menggerakkan perubahan social menuju kontruksi social yang adil. Apakah pengkaderan akan mengabdi pada tatanan yang menindas ataukah justru menjadi medan perjuangan, sangat bergantung pada paradigma pengkaderan yang menjadi kerangka kerjanya. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai berbagai paradigma baik yang melegimitasi system maupun yang memiliki fungsi liberisasi, serta implikasinya dalam praksis pengkaderan.
Giroux dan Aronowiz sebagaimana dikutip oleh Mansur Fakih (2001) mengelompokkan ideologi-ideologi pengkaderan ke dalam tiga aliran besar: konservatif, liberal, dan kritis. Secara garis besar perbincangan tentang tiga aliran adalah sebagai berikut :
1.      Paradigma Konservatif
Bagi kaum konservatif, terjadinya ketidaksederajatan dalam masyarakat merupakan suatu hal yang alamiah, suatu hal yang mustahil, bisa dihindari, serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir tuhan. Perubahan social bagi mereka bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, bahkan perubahan justru akan membuat manusia lebih sengsara lagi. Dalam bentuknya yang klasik, paradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan social, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua. Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif klasik tidak menganggap rakyat memiliki kekuasaan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Namun dalam perkembangannya, paradigma konservatif cenderung menyalahkan subyek. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang-orang yang miskin, buta huruf, kaum tertindas, dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena, dalam kenyataannya, banyak orang lain bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang yang bersekolah dan belajar atau kursus, dan karenanya dapat hidup dengan layak, dan tidak menjadi kriminal.
Karena kenyataan tersebut, kaum konservatif menyerukan kepada kaum miskin agar sabar dan belajar untuk berperilaku baik, sambil menunggu giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan dari konflik dan kontradiksi social.
2.      Paradigma Liberal
Kaum liberal berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat. Namun bagi mereka, pengkaderan tidak memiliki kaitan apapun dengan persoalan social, politik dan ekonomi yang terjadi di masyarakat. Dengan asumsi seperti itu, maka tugas pengkaderan pun tidak memiliki keterkaitan dengan persoalan sosial masyarakat.
Namun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pengkaderan dengan keadaan sosial, politik dan ekonomi di luar dunia pengkaderan. Usaha penyesuaian ini dilakukan dengan cara memecah berbagai problem pengkaderan dengan usaha reformasi kosmetik, karikatural. Karena kosmetik, maka umumnya yang dilakukan adalah usaha-usaha seperti pentingnya membangun kelas baru dan fasilitas baru, modernisasi peralatan sekolah dengan pengadaan komputer yang lebih canggih, laboratorium, serta berbagai usaha untuk menyehatkan rasio guru-murid. Selain itu juga didorong inventasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih efisien dan partisipatif seperti kelonpok dinamik (dynamic group), Berbagai usaha itu pada dasarnya masih terisolir dari sitem dan struktur ketidakadilan social, dari dominasi budaya dan represi social yang ada dalam masyarakat.
Kaum liberal dan konservatif sama-sama berpendirian bahwa pengkaderan asosial dan excellence merupakan target utama pengkaderan. Kaum liberal berpendapat bahwa persoalan pengkaderan dan persoalan sosial merupakan dua persoalan yang berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pengkaderan dalam struktur sosial dan dominasi politik serta budaya dan deskriminasi gender dalam masyarakat. Bahkan pengkaderan, bagi salah satu aliran liberal, yakni fungsional structural personian, justru dirancang untuk menstabilkan norma dan nilai dlam masyarakat. Pengkaderan justru dimaksudkan sebagai media sosialisasi dan reproduksi nilai tata susila keykinan dan nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.
Pendekatan liberal inilah yang kini mendominasi hampir seluruh pemikiran pengkaderan modern baik formal maupun informal. Jika dilacak dalam sejarah pemikiran, akar filosofi dari aliran ini adalah liberalisme. Yaitu suatu pandangan yang menekankan pengemnbangan kemampuan, melindungi hak dan kebebasan, serta mengindefikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pengkaderan liberal berakar dari cita-cita barat tentang individualisme. Gagasan liberalisme dalam sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam pengkaderan dapat dianalisa dengan melihat komponen-komponennya. Komponen pertama adalah pengauh filsafat barat tentang model manusia universal, yakni model manusia Amerika dan Eropa. Ideal-type dari manusia tersebut adalah rationalis liberal, yang ditandai oleh : Pertama, bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual, kedua baik tataran alam maupun norma social dapat ditangkap oleh akal . ketiga, individualisti, yakni anggapan bahwa manusia adalah atomistic dan otonom (Bay, 1988). Menempatkan individu secara atomistic, membawa pada keyakinan bahwa hubungan social sebagai suatu kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya tidak stabil.
3.      Paradigma kritis/Radikal
Pengkaderan dalam paradigma kritis dimaknai sebagai bagian dari medan perjuangan. Bila bagi kaum konservatif, pengkaderan mengabdi pada statusquo, kaum liberal untuk perubahan moderat, maka bagi paradigma kritis dirancang perubahan moderat, maka bagi paradigma kritis dirancang untuk melakukan perubahan fundamental dan transformasional bagi konstruksi social masyarakat. Bagi mereka,konstruksi social merefleksikan dalam dunia pengkaderan. Ini yang membedakan dengan liberal dan konservatif.
Dalam perspektif kritis, urusan pengkaderan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap the dominant ideology, menuju transformasi social. Tugas pengkaderan adalah membangun kesadaran kritis dan menciptakan ruang kritis terhadap struktur dan system ketidakadilan, mentransformasikan konstruksi social menuju tatanan berkeadilan. Pengkaderan tidak mungkin bersikap netral, tidak berpihak, obyektif maupun berjarak dengan masyarakat. Dalam paradigma ini, pengkaderan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi social. Dengan kata lain, tugas utama pengkaderan adalah “memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena system dan struktur yang tidak adil.
Dengan demikian, kader PMII dituntut memiliki paradigma kritis dalam menganalisa segala sesuatu yang lebih khususnya pada kebijakan – kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat. Sehingga dengan ini kader PMII akan sesuai dengan cita – citanya :
1.      Membentuk pribadi muslim islam yang bertakwa kepada allah SWT.
2.      Berbudi luhur
3.       Berilmu
4.      Cakap
5.      Bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar